Perjalanan Si Kulit Bundar



Jam di dinding rumahku sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat 30 menit. Seperti biasa aku mengambil sepeda kesayanganku merk Polygon yang ada tulisan Sierranya. Sepeda yang  pernah jaya pada masanya di kalangan laki-laki lengkap dengan boncengan belakangnya yang sengaja di jungkit miring ke atas agar terlihat lebih gagah dan menjadi bahan perhatian.

Ku kayuh sepedaku dengan cepatnya agar bisa lekas sampai ke salah satu Sekolah Menengah Kejuruan yang terletak di Kelurahan Sungai Malang, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Tempat yang menjadi pilihan  kami bermain si kulit bundar karena halamannya yang luas dan gerbangnya yang selalu bersikap ramah dan terbuka untuk kami. Sesampainya di depan gerbang sekolah ku lihat sudah banyak sepeda  berjejer rapi milik teman-temanku. "Ah, aku terlambat" Gumamku dalam hati.

Rasanya kakiku sudah gatal dan tidak sabar lagi untuk meliuk-liuk dan menari bersama mereka. Tanpa banyak basa-basi langsung ku hempaskan kaki-kaki tanpa alasku ke atas lapangan yang memiliki komposisi batu, semen, pasir dan air ini. Keras dan panas itulah yang di rasakan kaki-kaki kami.

Tapi sebaliknya, wajah kami justru menunjukkan keceriaan, penuh senyum dan tawa yang lepas. Tanpa ada beban pikiran, beban utang, tanpa ada sandiwara, dan tanpa ada beban janji karena belum ditepati. Kalaupun ada beban semua akan hilang seketika ketika kami bermain si kulit bundar.

Bermain sikulit bundar adalah cara cepat dan tepat bagi kami untuk mengisi ruang kosong di hati dan mendapatkan kebahagian. Harta, jabatan, dan perempuan bukanlah hal yang menjadi rebutan dalam perjalanan kami. Semua orang sudah ada jatahnya masing-masing. Yang menjadi pikiran kami adalah bagaimana caranya bisa merebut si kulit bundar dari kaki lawan dan mencetak gol dengan cara yang halal dan sah menurut aturan yang berlaku.

Dalam bermain si kulit bundar ada norma-norma dan aturan yang harus kami taati. Seperti halnya menundukkan badan saat lewat di depan orang yang lebih tua atau mengetuk pintu saat bertamu. Aturan kami adalah aturan yang sifatnya tidak tertulis.

Pertama, pemilik si kulit bundar adalah yang paling berkuasa. Kedua, tidak ada wasit, keputusan di ambil dengan cara musyawarah. Ketiga, batas lebar gawang adalah sendal atau batu dengan tinggi sejauh kiper tidak bisa menjaungkau si kulit bundar. Keempat, permainan dikatakan  berakhir ketika pemilik si kulit bundar pulang duluan atau adzan magrib sudah berkumandang. Kelima, pemenang adalah tim terakhir yang bisa mencetak gol sebelum laga usai. Dan sederet aturan lainnya yang dibuat untuk kepentingan dan kebahagian kami bersama.

Sekarang, 7 tahun sudah berlalu sejak kami bermain si kulit bundar di halaman yang keras dan panas itu dan sekarang tim kami sudah berpencar keberbagai penjuru dunia. Kami terpisah dengan kesibukan pekerjaan dan profesi kami masing-masing. Tapi perjalanan hidup kami tetap tidak terpisahkan dengan si kulit bundar. Kami selalu berusaha meluangkan waktu agar bisa silaturrahmi dan reuni bersama dengan si kulit bundar  sebagai pemersatu kami.

Selama bermian si kulit bundar banyak pengalaman dan pelajaran yang kami dapatkan.Tentang bagaimana cara bermain sportif, bagaimana cara menerima kemenangan dan kekalahan, serta bagaimana cara bekerjasama.

Karena inti kebahagian dari bermain si kulit bundar bukan masalah siapa yang menang atau kalah. Tapi masalah siapa yang akal di kepalanya, perasaan di hatinya, dan bola di kakinya bisa bergulir dengan indah, meliuk liuk, ahaaay dan kemudian jepreeet.... goallll....!!!

Wallahu 'Alam Bishshawab.

Foto Di Ambil Setelah Kami Melaksanakn Pertandingan Liga Papadaan.

Amuntai, Sabtu, 11Juli 2020
Muhammad Usman Bukhari

Posting Komentar

0 Komentar