<< Sesuatu Di Balik Gunung Titi >>
Rabu, 8 Juli 2020. Aku dan rombongan berniat mendaki sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan. Tepatnya di Desa Hawang, Kecamatan Limpasu. Gunung Titi orang kampung menyebutnya. Menurut informasi gunung ini memiliki ketinggian 313 Mdpl (Meter di atas permukaan laut).
Sebenarnya sudah lama kami ingin mendaki gunung itu. Namun karena bebrapa hal, baru sekarang kami bisa merealisasikannya. Perjalanan kami pun terbilang kurang persiapan. Kami Hanya membawa tas berisi beberapa botol air minum, setoples kue kering kacang amor buatan sendiri, dan sekantong plastik berisi kue khas banjar yang memiliki nama wadai untuk.
Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 9.30 pagi dan sampai di kaki gunung sekitar jam 10. Sesampainya disana kami dihadang oleh seorang laki-laki dengan kata-kata "maaf dik, jalan menuju gunung ditutup".
Seketika aku terperanjat dan begumam dalam hati "jangan-jangan ini karena sedang suasana pandemi Covid 19, tapi kami kan sudah pakai masker dan lagi pula kami datang tidak membawa orang ramai. Hanya 4 orang saja"
"memang kenapa jadi ditutup pak ?" Tanyaku dengan nada loyo karena sudah hampir patah semangat. " sedang ada perbaikan jalan dik" Jawabnya singkat. Kami pun melakukan negosiasai singkat dan akhirnya bisa lewat.
Ada dua cara untuk mendaki gunung yang sepanjang jalannya dikelilingi oleh pohon Hevea brasiliensis atau pohon karet ini. Pertama, bisa dengan berjalan kaki. Kedua, bisa dengan mengendari motor. Biasanya masyakarat sekitar menggunakan motor yang ada giginya karena lebih gesit ketika menaiki lereng gunung yang curam dan menantang adrenalin ini.
Berbeda dengan kebanyakan orang biasanya. Kami mendaki gunung hanya menggunakan motor matic. Bermodalkan keberanian ditambah sedikit ilmu dari masyarakat yang mengatakan bahwa ban motor kita tidak boleh terlalu kencang dan dibiarkan agak kempes (mengkal; bukan kempes) agar bisa mencengkram jalan setapak berjenis Laterit atau tanah merah yang licin apalagi jika setelah hujan.
Ada sekitar 5 tanjakkan yang membuat motor kami harus bertarung keras dengan licinnya jalan. Bahkan berkali-kali kami harus turun dan mendorong motor agar bisa naik. Berkali-kali juga kami ban motor kami amblas dan hampir terjatuh ke jurang yang tertutup rimbunnya daun Polypodiopsida yang merupakan kelompok tumbuhan paku-pakuan dan Imperata cylindrica atau ilalang, serta tumbuhan lain yang hidup sejahtera di sepanjang jalan.
Setiap tanjakkan yang kami lalui tanpa sadar membuat keringat kami bercucuran dan membasahi baju yang kami kenakan. Bukan hanya basah, pakaian kami juga menjadi kotor terkena jalanan yang becek.
Terlihat wajah kami sudah penuh dengan keringat dan napas kami menjadi pun ngos-ngosan. Tapi tak terlihat wajah ingin mundur. Justru pandangan kami terus kedepan ingin menuju puncak.
Setelah rintangan demi rintangan kami lewati. Tibalah kami di jalanan yang kiri kanannya sudah tidak ada pepohonan. Yang ada hanya hamparan rumput dan ilalang nan hijau yang seakan menari-nari menyambut kedatangan kami karena ditiup lembut oleh angin.
Tanah merah yang sepanjang jalan menemani kami tadi pun sekarang berubah menjadi karpet merah. Semangat kami menggebu dan langsung tancap gas jangan kasih kendur rantai sampai kepuncak.
Sesampainya di puncak kami menemukan sesuatu dibalik Gunung Titi yang mungkin tidak akan cukup jika hanya dijelaskan dengan kata-kata dan gambar dari kamera. Ada Perasaan bangga, bahagia, dan kepuasan tersendiri. Ingin rasa kembali kesana lagi !
Hikmah:
Ibarat sebuah cita-cita apapun itu yang kita inginkan tercapai. Maka orang-orang yang mengtakan stop jalan ditutup, jalanan yang menanjak dan licin, serta jurang dikiri kanan itu adalah ujian bagi kita. Lalu seberapa besar usaha dan perjuangan kita. Maka sejauh itulah cita-cita yang dapat kita raih nantinya.
Wallahu 'Alam Bishshawab
Rabu, 8 Juli 2020
Muhammad Usman Bukhari
0 Komentar